Pesona Alam Kota Batik Pekalongan

Photobucket

Kecantikan dan keelokan Jamrud Katulistiwa tidak kalah dengan belahan dunia yang lain, mencoba menembus batas untuk menjelajahi keindahan Nusantara. Perjalanan berawal dari Stasiun Poncol Semarang, sebagai pintu kelas ekonomi yang ingin menikmati perjalanan dengan kereta ekonomi. Pukul 05:30 sudah sampai di Stasiun Poncol, Alhasil ratusan orang berdiri dan berbaris layaknya ular anaconda yang disambung 10 kali.

Berdiri antre tiket dari belakang sambil harap-harap cemas tidak kebagian tiket atau kereta jalan duluan. Sebuah fenomena transportasi Indonesia yang harus dicari solusi yang lebih baik atau memang ini solusi yang terbaik untuk melatih budaya antri dan sabar. Kenyataan berbicara lain, banyak penumpang yang kawatir dan harap cemas harus melanggar sebuah tata krama mengantri dengan menitip di barisan depan. 





Lihat di sini...







Photobucket

Jam menunkan angka 05:45 dan kereta berangkat 05:55, namun didepan masih puluhan kepala yang mengantri. Jam 06:15 akhirnya dapat juga tiket dan hebatnya lagi, keberangkatan kereta ditunda sampai semua penumpang terangkut. Sebuah wujud solidaritas walau harus melanggar sebuah ketentuan, yang penting semua terangkut. Didalam gerbong yang penuh sesak, jangankan duduk berdiri saja sangat susah, namun setelah kereta berjalan semua berjalan otomatis dimana pantat sudah bisa diletakan dilantai. Karcis di lobangi dan setelah 2 jam perjalanan sampai juga di Stasiun Pekalongan.

Di Stasiun 2 orang teman sudah menjemput dengan kereta besinya dan siap untuk menjelajahi kota Batik Pekalongan.Sesaat sebelum berangkat, kita ikut melayat terlebih dahulu, sebab salah satu anggota keluarga besar teman ada yang wafat. Selesai melayat, kita segera mencari makan siang dengan menu khas Sego-Megono "sayur gudeg tanpa kuah". Arloji menunjukan angka 12 siang. Sebuah rencana disusun untuk perjalanan menuju Curug Cinde. Nama air terjun yang sangat asing di telinga, namun menurut informasi air terjun tersebut memiliki ciri khas dengan jalur yang dilewati. Keputusan bulat dan bersiap menjelajadi Curug cinde.

Curug Cinde terletak di Pekalongan bagian utara di pegunungan yang berbatasan langsung dengan Banjarnegara. Akses menuju kesana dari Kota Pekalongan Menuju Kabupaten Pekalongan, lalu mengarah menuju Kecamatan Karang Anyar. Dari Karang Anyar kemudian dilanjutkan menuju Desa Depok, Kecamatan Lebak Barang. Perjalan dengan melewi hutan heterogen yang didominasi tanaman produksi Pinus dan Karet. Membutuhkan waktu tempuh sekitar 2 jam untuk sampai didesa Depok. Sisi kiri lembah yang curam dengan pemandangan sawah dan ladang penduduk memberikan suguhan eksotisme kesuburan tanah Jawa. Tak henti mata memandang dan mengagumi keindahan Kota Batik tersebut.

Photobucket

Setelah 2 jam perkalanan sampai juga di Desa Depok yang merupakan desa tertinggi di Kecamatan Lebak Barang. Desa dengan 124 Kepala Keluarga memberikan gambaran akan kegigihan masyaraktanya untuk bertahan hidup didaerah terpencil dan terisolasi. Tidak ada pasokan listrik dari PLN, membuahkan kreatifitas dan ide cemerlang masyarakatnya. Sejak tahun 1984 Warga Desa Depok memanfaatkan aliran sungai untuk menggerakan kincir air sebagai penggerak generator listrik. Alhasil, ribuan watt listrik dihasilkan dari aliran sungai yang deras dan menjadi penerang bagi seluruh pelosok desa di waktu malam. Sebuah apresiasi layak diberikan, sebab dengan sedikit sentuhan sumber energi listrik bisa dihasilkan, tak terbayangg jika sungai-sungai yang mengalir di Indonesia bisa dimanfaatkan, maka krisis energi bukan menjadi momok yang menakutkan.

Menjadi kekawatiran saat ini adalah masalah debit air yang tidak stabil akibat kerusakan hutan. Pembalakan liar menyebabkan gangguan akan daya serap air sehingga bisa mengganggu aspek-aspek kehidupan yang berhubungan dengan air, seperti; pertanian sawah, irigasi, listrik dan kebutuhan rumah tangga. Sebuah pola penyadaran dan pemanfaatan hutan yang ramah musti di lakukan untuk menjaga penyangga kehidupan yang disebut sungai.

Photobucket

Keramahan penduduk Desa Depok, menyambut kami dan setelah memarkirkan mobil kami segera menuju rumah pak Kepala Desa dan langsung disambut dengan hangat. Sekedar berkunjung, meminta indormasi dan perijinan untuk menuju Curug Cinde. Arloji menunjuk angka 14:00 dan dengan disambut kabut kami segera menuju lokasi. jalanan setapak yang licin menjadi akses kesana, dengan suguhan pemandangan yang indah. Satu jam perjalanan kami disuguhi 2 buah air terjun dengan ketinggian 5 meter dan 30 meter, namun Curug Cinde masih 1 jam perjalanan lagi. Jalan menanjak, licin dan penuh dengan monster penghisap darah tak menghalangi langkah kami.

Beberapa luka akibat gigitan dan hisapan lintah menghiasi tangan dan kaki kami yang berbalut sandal tracking. Sebuah perjalanan yang tak sia-sia, setelah 2 jam perjalanan kami akhirnya sampai juga disebuah air terjun Curud Cinde. Debit air yang besar menimbulkan suara gemuruh disaat air menghantam bebatuan dibawahnya. Tak ada fasilitas apapun disini, dan masih terlihat alami. Namun beberapa sampah nampak berserakan, sebuah wujud tidak tanggung jawabnya pengunjuang. Deburan air terjuan menimbulkan buih-buih air yang membuat kami basah dan segera kamera dikeluarkan untuk mengabadikan semua. Sudut demi sudut kami jelajahi, namun cuaca tak bersahabat.

Rintik hujan mulai membasahi dedaunan yang dan hawa dingin segera menusuk kulit. Jam 17.00 kami segera meninggalkan Curug Cinde, dengan kondisi hutan yang gelap, karena kanopi hutan yang rapat. Hujan menemani perjalanan kami pulang sambil sesekali kaki ini terpeleset dan jalan semakin tidak jelas alurnya. lampu senter menjadi andalan kami untuk memandu langkah kami agar mendapat pijakan yang nyaman.

Photobucket

Jam 18:150 kami sampai di Desa Depok dengan kondisi basah kuyup dan segera mendapat sambutan kopi dan teh hangat. Tungku perapian menyelamatkan dari hawa dingin yang terus menggerogoti kulit. Obrolan dengan warga Desa Depok membuat suasana semakin hangat dan nyaman, keramah tamahannya membuat kami ingin kembali untuk menjelajahi desa eksotis tersebut.

Photobucket

Pukul 18:30 kami berpaitan pulang untuk kembali menuju Pekalongan. Gelapnya dan sepinya hutan meneni kami dengan suguhan suara musik ala Tonggeret "Cicada". Lebih dari 2 jam kami menempuh perjalanan, karena harus ekstra hati-hati dan cermat, sebab jalan yang cukup 1 kendaraan memaksa kami untuk berbagi disaat berpapasan. Perjalanan yang mencekam berhenti di sebuah bulak-bulak sawah dan saatnya kami kembali mengisi perut kami yang seharian kosong. Menu Katak sawah "sweeke" yang dibumbu pedas menjadi menu hidangan kami malam itu. Perut kenyang dan segera kembali menuju rumah teman untuk beristirahat.

Photobucket

Pagi yang cerah menyambut kami untuk kembali mengintip ada apa di Pekalongan. Sebuah bendungan peninggalan Kolonial Belanda menjadi tujuan kami. Bangunan yang tinggi dan kokoh membuat kami terkesima, ditambah lagi dengan derasnya aliran sungainya. Penduduk memanfaatkan air bendungan sebagai irigasi sawah dan budidaya ikan. Beberapa penduduk terlihat memancing ikan air tawar yang menghuni bendungan tersebut,

Perjalanan di Pekalongan nampaknya harus berakhir, sebab jadwal menuju Yoyakarta sudah menunggu. Ingin kembali rasanya menjelajahi Kota Batik tersebut untuk melihat keindahan alam dan budaya masyarakatnya, untuk dibagikan kepada anda-anda semua. Selamat menikmati sedikit oleh-oleh dari perjalanan saya dan semoga berkenan.